Senin, 11 Juni 2012

Livelihood Bisakah Diterapkan?

Oleh FATKUROHMAN 

Kimiskinan, itulah yang akrab ditelinga jika masa pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan umum Sudah dekat. Kemiskinan menjadi isu sentral sebagai strategi mencari dukungan dari pemilih namun tidak jelas kapan kemiskinan itu bisa ditanggulangi dengan cepat. Kemiskinan adalah kondisi seseorang atau kelompok orang tidak mampu memenuhi hal-hal dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan bermartabat. 

Tingkat kemiskinan suatu masyarakat memiliki hubungan erat dengan ketimpangan pendapatan. Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sesi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan, sandang dan papan. Banyak sekali pendekatan untuk mengukur kemiskinan. Salah satunya BPS menggunakan konsep kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari garis kemiskinan.

Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Head Count Index (HCI), yaitu persentase penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) per September tahun 2011 batas garis kemiskinan di Sumatera Selatan untuk wilayah perkotaan 288.432 rupiah per kapita per bulan. Sementara untuk pedesaan 224.297 rupiah per kapita per bulan. Dengan kriteria ini penduduk miskin di Sumatera Selatan wilayah perkotaan sekitar 402.420 penduduk atau sekitar 14,95 %. Sementara pedesaan sekitar 654.450 penduduk miskin atau sekitar 13.39 %. Jika dilihat dari data ini maka perkotaan lebih banyak menyumbang prosentase angka kemiskinan di Sumatera Selatan dari sekitar 1. 061,870 penduduk miskin atau 13.95 persen.

Ada beberapa faktor atau pendekatan yang mempengaruhi hal ini, pertama, Dinamika kependudukan seperti urbanisasi. Urbanisasi dipandang sebagai salah faktor karena seringkali urbanisasi hanya bermodalkan kenekatan semata yang akhirnya menyebabkan terbentuknya masyarakat miskin pinggiran kota. Kedua, Keterasingan terhadap pendapatan akibat persaingan memperoleh pekerjaaan terlalu tinggi dan peluang pekerjaan tak sebanding dengan pengangguran . Ketiga, Kurangnya etos kerja (malas). Kultural ini terkait dengan sikap dalam menentukan kehidupan, banyak sekali kemiskinan terjadi diperkotaan lebih disebabkan oleh isikap malas dan hanya mengingikan kenikmatan dalam mendapatkan pekerjaan tetapi tidak mau bekerja keras. Oleh karena itu, visi Penanggulangan kemiskinan perkotaan harus diprioritaskan pada akar kemiskinan. Jika yang menjadi akar adalah kurangnya pendapatan yang berakibat pada akses yang lain maka yang menjadi prioritas program seharusnya mengacu pada masalah tersebut. Jika masalah kemiskinan disebabkan faktor urbanisasi maka penanggulangannya harus bekerja sama dengan komponen penanggulangan kemiskinan sektor pedesaan. Namun jika kemiskinan disebabkan oleh kurangnya etos kerja maka program kemiskinan harus menyentuh bagaimana membangkitkan etos kerja warga miskin.

Untuk sektor perkotaan saya memandang kesenjangan pendapatan keluarga menjadi faktor utama yang menyebabkan kemiskinan diperkotaan namun tidak lepas dari faktor pendukung lainnya. Sementara, berbagai Program Pengentasan kemiskinan saat ini banyak jenisnya. Seperti dibawah kementrian Koordinator Kesejahteraa Rakyat, pemerintah menelurkan program keluarga harapan, dan PNPM (program nasional pemberdayaan masyarakat). Program ini adalah program yang dirancang untuk mendukung pengentasan kemiskinan di Indonesia termasuk perkotaan. Namun, output program – program yang tidak sedikit dananya seringkali dikritisi oleh berbagai kalangan termasuk pemerintah daerah Sumateran Selatan.

Beberapa lalu, Kepala Bappeda Sumatera Selatan Yohanes H. Toruan dalam wawancara dengan kalangan pers mempertanyakan program kemiskinan dibawah Kesra yang dinilai hasilnya tidak terukur. Menurutnya selama ini tidak ada yang mengetahui dampak dari program kemiskinan pusat tersebut. Data penurunan kemiskinan hanya bisa dibaca dalam bentuk rilis yang dilakukan oleh BPS berdasarkan uraian data dari berbagai program kemiskinan baik itu dari pusat dan daerah. Oleh karena itu sebaiknya berbagai program kemiskinan yang dicanangkan pusat untuk daerah diserahkan kepada daerah secara utuh sehingga bisa dapat dikontrol dan diukur hasil dari program tersebut.

Dari berbagai persoalan untuk menanggulangi kemiskinan, ada beberapa pandangan yang bisa menjadi alternatif solusi. Pertama, Program kemiskinan sebaiknya perlu diintergrasi antara pusat dan daerah sehingga bisa dikontrol dan lebih bisa menyentuh pada basis kemiskinan karena langsung dibawah komando daerah yang lebih memahami problem kemiskinan daerah. Apalagi saat ini sudah eranya otonomi daerah sehingga saatnya program yang menyangkut problema daerah diserahkan langsung pada daerah. Kedua, Penanggulangan kemiskinan sebaiknya menyentuh pada akar kemiskinan dan kantong-kantong kemiskinan. Berbagai riset telah dilakukan dari berbagai lembaga, yang menunjukan kemiskinan lebih pada faktor kesenjangan pendapatan. Pendapatan warga miskin tidak sebanding dengan kebutuhan dasar. Oleh karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan perlu mengarah kepada perbaikan pendapatan warga miskin perkotaan. Sebagai contoh, berbagai program kemiskinan seperti PNPM Mandiri Perkotaan sekitar 75 persen anggaran diproyeksikan untuk infrastruktur bisa dikurangi untuk pemberdayaan usaha kecil dan pembinaan Livelihood atau peningkatan mata pencaharian keluaraga dengan keterampilan aplikatif (liveskill) dikantong-kantong kemiskinan. Sementara infrastruktur diserahkan kepada Pemerintah Daerah untuk membenahinya karena wilayah perkotaan untuk infrastruktur mayoritas sudah bisa diakses dengan baik.

Dengan seperti ini tidak ada program tumpang tindih yang rentan dengan praktik korupsi. Dan yang terpenting dalam upaya pemberdayaan warga miskin adalah menciptakan jiwa yang tangguh, kuat dan tidak mudah goyah sehingga bisa menghadapi semua permasalahan. Oleh karena itu, diperlukan fasilitator motivasi yang bisa membongkar kultur malas untuk bisa bangkit menjadi jiwa yang tangguh. Program pemberdayaan kemiskinan apapun tidak akan berhasil jika warga miskin tidak mempunyai motivasi untuk maju. Selain itu, program pemberdayaan harus mengacu kegiatan produktif dan kreatif, karena dengan produktif kreatif prospek untuk bisa bersaing sangat terbuka. Pemberdayaan masyarakat miskin juga memerlukan kemitraan yang sinergis antara pemangku kepentingan. Pemerintah daerah dan pemerintah pusat serta berbagai pelaku pemberdayaan seperti Coorporate Social Responsibility (CSR) untuk warga miskin sebaiknya dilakukan secara intergrasi tidak berjalan sendiri-sendiri sehingga tepat sasaran. Selain itu sebuah pemberdayaan warga miskin juga memerlukan fokus yang berkelanjutan. Tidak jarang selama ini program penanggulangan kemiskinan tidak memiliki fokus yang jelas sehingga hasilnya tidak bisa terukur dan hanya sekedar proyek belaka.

Berdasarkan data BPS, kemiskinan perkotaan di Sumatera Selatan 2011 sekitar 13,39 persen maka sudah saatnya dari jumlah tersebut pemerintah daerah dan komponen pendukung untuk segara membuat MAP (peta) kemiskinan berdasarkan potensi, kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh para rumah tangga miskin. Dan pendekatan Livelihood atau Peningkatan Mata Pencaharian Keluarga dipandang bisa mengatasi atau mengurangi kemiskinan dengan lebih cepat. Stratergi Pendekatan Livelihood ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, yakni ekonomi produktif dan kreatif potensial (liveskill). Peningkatan kapasitas ekonomi kreatif dan liveskill dimaksud yakni mempunyai kebebasan atau kelancaran dalam perluasan akses meningkatkan ekonomi (usaha) berupa pengetahuan usaha, keterampilan teknis usaha, manajemen usaha dan ekonomi rumah tangga, perluasan pemasaran atau penyaluran bakat. Tentunya hal ini dilakukan oleh orang-orang yang benar berpengalaman dibidang usaha atau liveskill.

Untuk bisa tepat sasaran, warga miskin sebaiknya dikelola dalam sebuah lembaga atau wadah keswadayaan masyarakat yang dikelola oleh warga miskin berdasarkan potensi yang dimiliki. Lembaga ini sangat penting untuk bisa mengkontrol perkembangan dan kemajuan serta pendampingan. Kebebasan untuk mencurahkan pendapat (curhat) soal usaha atau pekerjaannya bisa memberikan kekuatan sekaligus memberikan motivasi, arahan dan jalan keluar untuk bisa lebih cepat maju keluar dari kemiskinan. Dan perlu menjadi catatan untuk bisa eksis dan semakin maju juga diperlukan modal, oleh karena itu warga miskin juga memerlukan akses modal dengan mudah dalam bentuk lembaga keuangan mikro. Sebaiknya pemerintah daerah memiliki lembaga seperti ini yang khusus menangani atau mengelola warga miskin yang telah mendapatkan pembinaan dan eksis dilembaga keswadayaan warga miskin. Pemberian akses modalpun tidak harus dalam bentuk uang tunai melainkan berupa barang-barang produktif yang bisa digunakan untuk warga miskin lebih maju. Sebagai penutup, menurut hemat saya pemberdayaan membutuhkan pengawasan, evaluasi dan keberlanjutan. Perubahan suatu masyarakat atau kelompok tidak bisa dilakukan dengan cara sesaat atau instan. Fokus adalah menjadi kunci keberhasilan pemberdayaan warga miskin. Dan semua pemangku kepentingan pemberdayaan warga miskin harus terintergrasi untuk membangun program yang fokus dan terukur. (#)